Sekian pendahuluannya yang tidak penting, langsung saja inilah kisanak saya.
Di Solo, ada sebuah monumen di ujung jalan utama Slamet Riyadi (tepatnya di area Gladag) yang berupa patung Brigjend Slamet Riyadi sedang mengacungkan pistol. Dulu, setiap pulang kerja, rute saya dari ujung ke ujung jalan Slamet Riyadi. Kalau sekarang hanya setengahnya karena saya memutar melewati jalan lain. Meski hampir setiap hari melewatinya, saya sering tidak menghitung berapa perempatan yang saya lewati, atau perempatan mana yang terakhir, atau apa. Patokan saya untuk rumah yang sudah dekat hanyalah saat saya melihat patung Pak Slamet.
Patung Slamet Riyadi
Suatu ketika, saat saya pulang malam, seperti biasa saya menelusuri jalan Slamet Riyadi. Namun, setelah melewati perempatan yang saya duga terakhir, saya belum juga melihat patung yang pahlawan itu, padahal saya sudah melihat siluet pohon-pohon yang ada di baliknya, juga lampu-lampu yang bersinar tak seperti biasa. Saat itu juga terlihat lebih banyak orang berkerumun di sana. Sekadar info, di malam hari, jalan yang terletak tepat di belakang patung tersebut menjadi arena kuliner yang disebut Galabo (Gladag Langen Bogan).
Sumber gambar di sini
Saya masih melaju, semakin dekat, tapi tak juga menangkap sosok patung yang sudah bertahun-tahun berdiri di sana. Jantung saya berdebar, saya mulai tak berkonsentrasi pada jalan. Hingga saat jarak saya dengan tempat patung itu semakin dekat, barulah saya menyadari apa yang salah. Ternyata lampu-lampu sorot di kaki patung yang biasa menyinarinya mati (atau dimatikan). Beberapa meter dari patung, saya merasa lega sekaligus geli dengan ketegangan saya yang tak masuk akal.
bzee